Beranda | Artikel
Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)
13 jam lalu

Pendahuluan

Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083)

Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini.

Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan.

Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1]

Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,

وقد حكى بعضهم الإجماع عليه

“Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2]

Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (madzhab Zhahiriyah) rahimahumallah.

Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini.

Dalil-dalil dari Al-Qur’an

Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً

“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34)

Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3]

Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala,

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ

“Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145)

Juga firman Allah Ta’ala,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4]

Ketiga, firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5]

Keempat, firman Allah Ta’ala,

وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)

Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6]

Kelima, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7]

Dalil-dalil dari As-Sunah

Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا.

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

“Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9]

Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faidah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”

Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23)

Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12]

Dalil-dalil akal

Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13]

Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia.

Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faidahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal.

Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14]

Kesimpulan

Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka.

Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15]

Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat.

[Bersambung]

***

@12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150.

[2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166.

[3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah.

[4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490.

[5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102.

[6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383.

[7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317.

[8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72)

[9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani.

[10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170.

[11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345.

[12] Fathul Baari, 13: 269.

[13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134.

[14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39.

[15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.


Artikel asli: https://muslim.or.id/101481-prinsip-prinsip-memahami-halal-haram-dalam-transaksi-muamalah-bag-1.html